Jumat, 29 Agustus 2008

Lagi malas...

Sudah lebih seminggu saya tidak mengisi blog. kalau ditanya mengapa? saya punya satu jawaban singkat , "lagi malas!!". Entahlah, penyakit malas sedang tinggal dan menetap lumayan lama. Sebenarnya banyak yang ingin di tulis, tapi malas sekali pergi ke warnet. Baru hari ini saya menyempatkan diri mampir ke warnet langganan di sebelah cafe book Banjarbaru.
Sebenarnya kalau mau di lacak lagi mengapa saya malas, karena saya lagi keranjingan main game luxor. gara-gara salah satu teman saya yang berbaik hati mengcopykan permainan itu di komputer, jadinya setiap ada kesempatan saya selalu main game. Kalau sudah main, saya malas melakukan hal lain, termasuk mengisi blog. Tapi setelah satu minggu, saya mulai bosan juga, apalagi mata mulai perih karena kelamaan di muka komputer lihat bola-bola yang berwarna warni.
Pokoknya saya kapok minta copikan game baru, bikin semua jadwal kegiatan saya berantakan, bikin saya jadi ketagihan, dan bikin saya jadi sakit mata.

Senin, 18 Agustus 2008

Upacara 17-an

Kemaren, bangsa kita memperingati HUT RI yang ke-63 tahun. kebetulan tahun ini tanggal 17 berkenaan dengan hari minggu. Seperti biasa, sebagai PNS di Kec. Karang Intan saya diwajibkan mengikuti upacara di lapangan yang inpekstur upacaranya Bapak Camat Karang Intan.
Ternyata dari pagi hujan turun lumayan deras, dengan menggunakan payung saya membulatkan tekad untuk turun upacara. Dengan baju korpri pinjaman saya menempuh jarak nyaris 30 km ke Karang Intan. Sampai di sana ternyata upacara juga belum mulai, padahal di undangan tertulis jam 9 pagi. Maklum, ternyata tempat itu juga dapat jatah guyuran air hujan. Akhirnya upacara baru dimulai jam 10.30.
Tahun lalu saya gak bisa ikut upacara 17-an di tempat ini karena lagi mengikuti diklat. Tahun ini, saya bertekad tidak mau kalah dengan undangan para veteran pejuang yang sudah ujur namun masih bersemangat mengikuti jalannya upacara. Ada yang beda kali ini, biasanya yang membacakan teks proklamasi adalah Pegawai kecamatan, kali ini salah satu veteran yang membacakan teks proklamasi. dengan suara tetap lantang namun agak bergetar (suara orang tua), beliau membacakan proklamasi.
Saya merasakan ada yang lain saat beliau membacakan teks proklamasi, sungguh saya merasa terharu dan menghayati penuh isi teks yang dibacakan, saya membayangkan seakan-akan berada di Jakarta 63 tahun yang silam. Saya makin menghargai kemerdekaan yang diberikan Allah melalui perjuangan pahlawan. Rasanya tidak sia-sia saya menempuh perjalanan jauh, mengorbankan hari libur dan melawan terpaan hujan untuk ikut upacara 17-an. MERDEKA!!

Rabu, 13 Agustus 2008

Oh...MGMP..

Tiap kamis, saya mengikuti kegiatan MGMP IPS di SMPN 1 Martapura. Pesertanya guru-guru dari SMP dan MTs se-Kabupaten Banjar. Kebetulan saya diberi kepercayaan sebagai pengurus sekaligus fasilitator MGMP. Hari ini pertemuan yang ke 4 dari 12 kali pertemuan yang direncanakan untuk semester Ganjil TP. 2008/2009. Sesuai jadwal kegiatan, selama 12 kali pertemuan ini kami merencanakan menyusun perangkat pembelajaran untuk IPS terpadu, karena paling lambat tahun pelajaran 2009/2010 guru IPS SMP harus menggunakan pendekatan IPS terpadu dalam mengajar di kelas. Masalahnya adalah, perangkat pembelajarannya sama sekali belum ada. Karena itu kegiatan MGMP di fokuskan pada membuat perangkat pembelajaran IPS terpadu, jadi mau tidak mau peserta harus bekerja menyusunnya.
Terus terang dari awal, saya pesimis akan berhasil. Masalahnya, diantara para peserta hanya sedikit yang punya komitmen sungguh-sungguh untuk bekerja, kebanyakan hanya ingin hasil jadi saja seperti yang lalu-lalu dan lebih senang hanya jadi pendengar yang baik ketimbang mengambil peran dalam menciptakan suatu hasil kerja untuk kepentingan bersama.
Seperti hari ini, kegiatan mendiskusikan hasil kelompok tidak berjalan lancar, karena pesertanya seperti enggan menggunakan otaknya untuk berpikir memperbaiki hasil kerja kelompok lain. juga dalam kegiatan kerja, meskipun sudah dibagi dalam kelompok dengan tugas masing masing, namun masih banyak yang tidak bekerja di kelompoknya, malah satu persatu permisi pulang duluan bahkan ada yang mendadak hilang tanpa permisi. sungguh menyedihkan. padahal di pertemuan lalu, dengan semangat semua berjanji komitmen dengan tugas masing-masing.
Apalah daya saya, sungguh tidak enak hati memberi perintah kepada guru-guru peserta MGMP yang sudah dewasa dan sudah tau komitmen tugas yang harus dijalankan untuk bekerja, apalagi sebagian besar usianya jauh di atas saya.
Akhirnya saya berpikir..., jangan-jangan saya yang telalu keras menuntut orang lain agar punya komitmen untuk kemajuan MGMP sedangkan mereka menjadikan MGMP hanya sekedar ajang silaturrahmi ?? oh..MGMP...

Selasa, 12 Agustus 2008

Andainya......

Tadi subuh, saya lihat tayangan berita di Metro TV. Tayangannya bikin saya menghayal dan berandai-andai..
Isi tayangan ini menunjukkan sekelompok siswa sekolah dasar di salah satu negara Eropa tepatnya Swiss yang dibimbing oleh gurunya mengunjungi sebuah perbukitan di musim salju. Mereka dipandu oleh guru mengamati dampak pemanasan global (Global warming) terhadap perbukitan tersebut, yang mana akibat pemanasan global maka ketebalan es di bukit tersebut semakin berkurang, rata-rata 1 cm pertahun. Sungguh suatu proses pembelajaran yang sarat makna, saya yakin dampak pemanasan global tersebut akan melekat kuat di otak siswa-siswa tersebut saat diucapkan di lokasi langsung yang terkena dampak pemanasan global, ketimbang jika dampak tersebut diucapkan guru di kelas.
Saya jadi berandai-andai, andainya saya bisa melakukan proses pembelajaran seperti itu dengan siswa saya, pastilah akan sangat mengasyikkan. Melakukan pembelajaran langsung di lokasi obyek pembelajaran pasti akan memberikan makna dan kesan mendalam kepada siswa saya.
Andai sekolah saya adalah sekolah yang mampu dari segi finansial dan orang tua siswanya mau dan rela mengeluarkan uang untuk kegiatan pembelajaran langsung, pastilah saya bisa merencanakan banyak kegiatan pembelajaran di lapangan.
Andai mata pelajaran yang harus dikuasai siswa tidak sebanyak sekarang, pastilah siswa saya akan punya banyak waktu dan lebih fokus terhadap mata pelajaran saya.
Masih banyak andai-andai yang lain....
tapi sebelum saya sampai pada hayalan tingkat tinggi, saya buru-buru harus kembali pada kenyataan pendidikan di sekolah saya..., paling tidak saya tetap punya niat, tekad dan kemauan untuk menjadi guru yang bisa memberikan yang terbaik untuk siswanya. Saya rasa modal itu cukuplah untuk saat sekarang..., ah..andai.....

Rabu, 30 Juli 2008

Asyiknya mengajar sejarah

Saya adalah guru IPS, jadi tentu saja mengajar utamanya juga IPS. Sesuai tuntutan KTSP, maka sekarang yang namanya guru IPS harus menguasai seluruh materi IPS yang bernuansa ekonomi, sejarah, geografi, maupun sosiologi. Pada awalanya saya cukup merasa keberatan maklum latar saya ekonomi, apalagi untuk materi sejarah. Setiap mau memasuki materi IPS Sejarah, perasaan saya sudah tidak karuan, seakan ada beban. ini karena dalam benak saya, sejarah pasti berkaitan dengan menghapal dan mengajarkan sesuatu yang bersifat hapalan sungguh sangat sulit. Akhirnya saya cari formula bagaimana agar saya gak jadi beban mengajarkannya dan anak-anak juga senang sejarah. Ternyata formulanya gampang, saya sebut dengan formula MENGAPA.
Ternyata saya baru menyadari (mungkin kalau guru yang berlatar belakang sejarah sudah lama tau), setiap peristiwa dalam sejarah pasti ada yang melatar belakanginya, alias MENGAPA peristiwa itu bisa terjadi, dan dampak yang timbul juga pasti berkaitan dengan pertanyaan MENGAPA tadi.
Misalnya begini, saya mengajarkan tentang Perang Dunia I, terasa jauh lebih gampang dipahami ketika siswa saya ajak berpikir dengan pertanyaan Mengapa terjadi, mengapa negara ini terlibat, mengapa negara ini kalah, mengapa negara ini menang, mengapa setelah perang kondisi negara ini dan itu jadi begini, dan mengapa-mengapa lainnya. Dengan pertanyaan mengapa ini, maka anak tidak hanya sekedar menghapal tapi memahami kondisi dalam peristiwa sejarah yang dipelajari. sejak sekarang saya jadi semangat mengajar sejarah, ternyata mengasyikkan...

Sabtu, 26 Juli 2008

Susahnya bilang "Tidak"

Saya mempunyai satu kekurangan yang dirasa teman-teman dekat saya sebagai suatu penyakit yang parah. Nama penyakitnya adalah sangat susah bilang "Tidak". Sebenarnya, jenis penyakit ini sudah saya sadari sejak lama, tapi sampai kini saya tidak pernah mencoba menemukan obat untuk menyembuhkannya. Kata teman saya itu karena saya tidak punya pendirian, dibilang begitu tentu saja saya protes berat. Saya punya pendirian, tapi kalau memang saya bisa membantu melakukan sesuatu buat seseorang atau sekelompok orang, kenapa saya harus bilang tidak bisa. sejauh ini, bantauan yang saya berikan sebatas kemampuan saya kok..., jadi saya tidak bisa bilang "tidak", itu alasan yang saya kemukakan ke teman-teman.
Setelah saya renungkan, mungkin ini adalah hasil dari cara mendidik ortu terutama ibu saya di rumah. Menurut saya, ibu adalah orang tua yang paling demokratis di seluruh dunia. Beliau selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih, tanpa mengintimidasi, hanya memberi pendapat saja atas setiap keputusan yang akan diambil oleh anak-anaknya. Misalnya dalam hal urusan pekerjaan rumah. saya punya satu kakak perempuan, sedang adik semuanya laki-laki. Ibu tidak pernah meminta anak-anaknya untuk melakukan pekerjaan di dapur, jika mau membantu, beliau dengan senang hati menerima, tapi tidak pernah ada kata menyuruh dalam kamus beliau. So..,kalau kemudian kakak berkembang menjadi seseorang yang tidak bisa memasak, dan saya berkembang menjadi seorang yang hobby masak, semuanya merupakan pilihan sendiri. Saya tidak pernah merasa iri pada kakak, atau marah pada ibu karena tidak pernah menyuruh kakak. Saya nikmati aja semua tugas yang saya kerjakan, meskipun orang sekitar tidak mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakannya. Dengan kata lain, saya selalu menerima apapun kondisi yang berlaku kepada saya, termasuk juga kalau kemudian banyak teman-teman yang minta bantuan, apapun bentuknya, selama saya bisa pasti saya lakukan. Kadang-kadang ada juga bantuan yang sebenarnya tidak bisa saya berikan, tapi karena kebiasaan, maka sedaya upaya pasti akan saya lakukan. mungkin yang terakhir inilah yang disebut teman saya sebagai suatu penyakit. Tapi haruskah saya berubah, dengan belajar selalu menolak memberikan bantuan pada orang lain alias berkata "tidak"??