Rabu, 30 Juli 2008

Asyiknya mengajar sejarah

Saya adalah guru IPS, jadi tentu saja mengajar utamanya juga IPS. Sesuai tuntutan KTSP, maka sekarang yang namanya guru IPS harus menguasai seluruh materi IPS yang bernuansa ekonomi, sejarah, geografi, maupun sosiologi. Pada awalanya saya cukup merasa keberatan maklum latar saya ekonomi, apalagi untuk materi sejarah. Setiap mau memasuki materi IPS Sejarah, perasaan saya sudah tidak karuan, seakan ada beban. ini karena dalam benak saya, sejarah pasti berkaitan dengan menghapal dan mengajarkan sesuatu yang bersifat hapalan sungguh sangat sulit. Akhirnya saya cari formula bagaimana agar saya gak jadi beban mengajarkannya dan anak-anak juga senang sejarah. Ternyata formulanya gampang, saya sebut dengan formula MENGAPA.
Ternyata saya baru menyadari (mungkin kalau guru yang berlatar belakang sejarah sudah lama tau), setiap peristiwa dalam sejarah pasti ada yang melatar belakanginya, alias MENGAPA peristiwa itu bisa terjadi, dan dampak yang timbul juga pasti berkaitan dengan pertanyaan MENGAPA tadi.
Misalnya begini, saya mengajarkan tentang Perang Dunia I, terasa jauh lebih gampang dipahami ketika siswa saya ajak berpikir dengan pertanyaan Mengapa terjadi, mengapa negara ini terlibat, mengapa negara ini kalah, mengapa negara ini menang, mengapa setelah perang kondisi negara ini dan itu jadi begini, dan mengapa-mengapa lainnya. Dengan pertanyaan mengapa ini, maka anak tidak hanya sekedar menghapal tapi memahami kondisi dalam peristiwa sejarah yang dipelajari. sejak sekarang saya jadi semangat mengajar sejarah, ternyata mengasyikkan...

Sabtu, 26 Juli 2008

Susahnya bilang "Tidak"

Saya mempunyai satu kekurangan yang dirasa teman-teman dekat saya sebagai suatu penyakit yang parah. Nama penyakitnya adalah sangat susah bilang "Tidak". Sebenarnya, jenis penyakit ini sudah saya sadari sejak lama, tapi sampai kini saya tidak pernah mencoba menemukan obat untuk menyembuhkannya. Kata teman saya itu karena saya tidak punya pendirian, dibilang begitu tentu saja saya protes berat. Saya punya pendirian, tapi kalau memang saya bisa membantu melakukan sesuatu buat seseorang atau sekelompok orang, kenapa saya harus bilang tidak bisa. sejauh ini, bantauan yang saya berikan sebatas kemampuan saya kok..., jadi saya tidak bisa bilang "tidak", itu alasan yang saya kemukakan ke teman-teman.
Setelah saya renungkan, mungkin ini adalah hasil dari cara mendidik ortu terutama ibu saya di rumah. Menurut saya, ibu adalah orang tua yang paling demokratis di seluruh dunia. Beliau selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih, tanpa mengintimidasi, hanya memberi pendapat saja atas setiap keputusan yang akan diambil oleh anak-anaknya. Misalnya dalam hal urusan pekerjaan rumah. saya punya satu kakak perempuan, sedang adik semuanya laki-laki. Ibu tidak pernah meminta anak-anaknya untuk melakukan pekerjaan di dapur, jika mau membantu, beliau dengan senang hati menerima, tapi tidak pernah ada kata menyuruh dalam kamus beliau. So..,kalau kemudian kakak berkembang menjadi seseorang yang tidak bisa memasak, dan saya berkembang menjadi seorang yang hobby masak, semuanya merupakan pilihan sendiri. Saya tidak pernah merasa iri pada kakak, atau marah pada ibu karena tidak pernah menyuruh kakak. Saya nikmati aja semua tugas yang saya kerjakan, meskipun orang sekitar tidak mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakannya. Dengan kata lain, saya selalu menerima apapun kondisi yang berlaku kepada saya, termasuk juga kalau kemudian banyak teman-teman yang minta bantuan, apapun bentuknya, selama saya bisa pasti saya lakukan. Kadang-kadang ada juga bantuan yang sebenarnya tidak bisa saya berikan, tapi karena kebiasaan, maka sedaya upaya pasti akan saya lakukan. mungkin yang terakhir inilah yang disebut teman saya sebagai suatu penyakit. Tapi haruskah saya berubah, dengan belajar selalu menolak memberikan bantuan pada orang lain alias berkata "tidak"??